Senin, 22 Maret 2010

PENGARUH KOMPOS KULIT BUAH KAKAO DAN KASCING TERHADAP PERBAIKAN BEBERAP SIFAT KIMIA
AFLUVENTIC EUTRUDEPTS


Oleh :
Ramson Sitorus, Ingrid Ovie, Yopie Sinaga
Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK
Suatu penelitian untuk menelaah pengaruh limbah kulit buah kakao sebagai kompos bioaktif dan kascing terhadap pertumbuhan bibit kakao (Theobroma cacao L) kultivar Upper Amazone Hybrid telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Jatinangor mulai bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Juli 2005. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah kompos bioaktif kulit buah kakao dengan 4 taraf, yaitu 0 kg per polibeg, 1,25 kg per polibeg, 1,67 kg per polibeg dan 2,50 kg per polibeg. Faktor kedua adalah kascing dengan 4 taraf, yaitu 0 g per polibeg, 10 g per polibeg, 20 g per polibeg, 30 g per polibeg. Percobaan diulang 2 kali sehingga terdapat 32 satuan percobaan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian kompos bioaktif kulit buah kakao dengan kascing tidak memberikan pengaruh interaksi nyata terhadap pH tanah, C-organik dan kapasitas tukar kation (KTK). Efek mandiri memperlihatkan bahwa peningkatan dosis kompos bioaktif kulit buah kakao secara nyata memperbaiki pH tanah dan Corganik, tetapi tidak berpengaruh untuk kascing. Pemberian KBKBK 2,51 kg per polibeg memberikan pH tanah dan C-organik tertinggi masing-masing sebesar 6,9613 dan 4,844%, atau meningkat 50,80% dan 159% jika dibandingkan dengan kontrol.
Kata kunci : Limbah Kulit Kakao, Kompos, Kascing

ABSTRACT
An experiment to evaluate the effect of cacao pods waste as bioactive compost and casting on Improving some characteristics of Fluventic Eutrudepts Chemistry was conducted at the Agricultural Experiment Station, Padjadjaran University, Jatinangor, from January until July 2005. The design of the experiment was randomized block design arranged in factorial pattern with two factors. The first factor were four levels of Cacao pods bioactive compost : 0 kg per polybag, 1,25 kg per polybag, 1,67 kg per polybag, and 2,50 kg per polybag. The second factor were four levels of Casting : 0 g per polybag, 10 g per polybag, 20 g per polybag and 30 g per polybag. The treatment was replicated two times, so there were 32 treatmens combinations. The result of the experiment showed that there were no interaction between cacao pods bioactive compost and casting on soil pH, organic-C, and Cation Exchangeable Capasity. The single effect showed that the increased of dosage cacao pods bioactive compost make significant effect on increased soil pH and organic-C, but not significant effect for cast. The level of 2,51 kg cacao pods bioactive compost per polybag gave the highest soil pH and organic-C each 6,9613 and 4,844%, or increased 50,80% and 159%, if it was compared to untreated cacao pods bioactive compost.
Key Words : Cacao Pods Waste, Compost, Casting

PENDAHULUAN
Inceptisols asal Jatinangor termasuk ke dalam sub ordo Udepts, great group Eutrudepts, dan sub group Fluventic Eutrudepts (Mahfud Arifin dan Ridha Hudaya, 2001). Inceptisols merupakan salah satu ordo tanah yang tersebar secara luas di seluruh Indonesia dengan luasan sekitar 70,52 juta ha (Puslitbangtanak, 2003). Melihat penyebaran Inceptisols yang cukup luas, maka pengembangan tanah ini di masa yang akan datang memiliki nilai ekonomi yang cukup prospektif.
Inceptisols Jatinangor merupakan tanah yang belum berkembang lanjut dengan ciri-ciri bersolum tebal antara 1.5-10 meter di atas bahan induk, bereaksi masam dengan pH 4.5-6.5, bila mengalami perkembangan lebih lanjut pH naik menjadi kurang dari 5.0, dan kejenuhan basa dari rendah sampai sedang. Tekstur seluruh solum ini umumnya adalah liat, sedang strukturnya remah dan konsistensi adalah gembur. Secara umum, kesuburan dan sifat kimia Fluventic Eutrudepts relatif rendah, akan tetapi masih dapat diupayakan untuk ditingkatkan dengan penanganan dan teknologi yang tepat.
Fluventic Eutrudepts memiliki cukup potensi untuk pengembangan tanaman perkebunan, diantaranya yang bernilai ekonomis cukup tinggi adalah tanaman Kakao (Theobroma cacao L.). Berdasarkan nilai ekspor komoditi kakao Indonesia pada tahun 2002 adalah sebesar 521,3 juta USD, hal ini menjadi sangat penting dalam menunjang perekonomian nasional. Keunggulan komparatif dari sub-sektor perkebunan dibandingkan dengan sektor non-migas lainnya disebabkan antara lain oleh adanya lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal dan berada dikawasan dengan iklim yang menunjang serta adanya tenaga kerja yang cukup tersedia dan melimpah sehingga bisa secara kompetitif dimanfaatkan. Kondisi tersebut merupakan suatu hal yang dapat memperkuat daya saing harga produk produk perkebunan Indonesia di pasaran dunia.
Menurut Departemen Pertanian (2004) produksi kakao Indonesia pada tahun 2002 sebesar 433.415 ton, apabila dilihat dari banyaknya produksi ini maka terdapat produk lain berupa limbah kulit buah kakao yang berpotensi mencemari lingkungan, 2 akan tetapi dapat diatasi dengan penanganan dan teknologi yang tepat untuk dimanfaatkan.
Spillane (1995) mengemukakan bahwa kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai sumber unsur hara tanaman dalam bentuk kompos, pakan ternak, produksi biogas dan sumber pektin. Sebagai bahan organik, kulit buah kakao mempunyai komposisi hara dan senyawa yang sangat potensial sebagai medium tumbuh tanaman. Kadar air untuk kakao lindak sekitar 86 %, dan kadar bahan organiknya sekitar 55,7% (Soedarsono dkk, 1997). Menurut Didiek dan Yufnal (2004) kompos kulit buah kakao mempunyai pH 5,4, N total 1,30%, C- organik 33,71%, P2O5 0,186%, K2O 5,5%, CaO 0,23%, dan MgO 0,59%.
Jenis pupuk organik lain yang dewasa ini memiliki perhatian dalam bidang penelitian dan manfaatnya cukup tinggi adalah kotoran cacing tanah (bekas cacing = kascing). Kascing mengandung lebih banyak mikroorganisme, bahan organik, dan juga bahan anorganik dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman dibandingkan dengan tanah itu sendiri. Selain itu, kascing mengandung enzim protease, amilase, lipase, selulase, dan chitinase, yang secara terus menerus mempengaruhi perombakan bahan organik sekalipun telah dikeluarkan dari tubuh cacing (Ghabbour, 1966 dalam Iswandi Anas, 1990). Tri Mulat (2003) mengemukakan bahwa kascing mengandung hormon perangsang tumbuhan seperti giberelin 2,75%, sitokinin 1,05% dan auksin 3,80%.
Kompos kulit buah kakao mengandung unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman kakao, tetapi kandungan unsur haranya masih sedikit dan memiliki pH yang rendah, sedangkan kascing selain mengandung unsur hara makro dan mikro, dapat meningkatkan pH juga menghasilkan zat pengatur tumbuh untuk merangsang pertumbuhan bibit kakao. Kombinasi keduanya diharapkan dapat memberikan hasil terbaik terhadap perbaikan beberapa sifat kimia Fluventic Eutrudepts dan pertumbuhan tanaman kakao.
Menurut Hakim, dkk. (1986), pemberian pupuk organik dapat menambah cadangan unsur hara di dalam tanah, memperbaiki struktur tanah dan menambah
kandungan bahan organik tanah. Pengaruhnya terhadap sifat kimia tanah diantaranya dapat memperbaiki pH tanah, meningkatkan kandungan C-organik meningkatkan 3 KTK tanah karena bahan organik mempunyai daya jerap kation yang lebih besar daripada koloid liat dan dapat melepaskan P dari P terfiksasi menjadi P-tersedia bagi tanaman.
Hasil penelitian Amien (1984) dalam Mohamad Fadli (2001) menunjukkan bahwa pemberian kascing 7,5 t ha-1 meningkatkan hasil padi gogo sebesar 34,76 %. Hasil penelitian Ni Luh Kartini (1997) menunjukkan bahwa pemberian kascing 7,5 t ha-1 pada Inceptisols meningkatkan P-tersedia dalam tanah dan hasil tanaman bawang putih pada tanah tersebut meningkat pula. Hasil bawang putih tertinggi 7,88 g 3 kg-1 tanah (5,25 t ha-1) dengan dosis optimum kascing 14,343 g3 kg-1 tanah (9,56 t ha-1).
Berdasarkan hasil penelitian Farida Aryani (1996), pemberian kascing berbeda dosis pada tanaman tomat menyebabkan perbedaan yang nyata dalam luas daun, bobot kering tanaman, serta nisbah pupus akar tanaman tomat. Peningkatan dosis kascing dapat meningkatkan hasil sampai dosis kascing optimum 19,1992 g 10 kg-1 tanah (3,84 t ha-1). Hasil penelitian Raden (1999) bahwa pemberian kascing dengan dosis 7,5 t ha-1 ; 15 t ha-1; 22,5 t ha-1 dapat meningkatkan LAB dan LTR serta dapat meningkatkan kandungan P daun tanaman bawang merah. Hasil penelitian ZulmFahri Gani (2002) bahwa pemberian kascing sampai taraf 7,5 t ha-1 dan 15 t ha-1 meningkatkan nilai-nilai variabel respon komponen hasil jagung. Hasil penelitian Atep Afia Hidayat (2002) mengemukakan bahwa hasil buncis maksimal dicapai dengan pemberian kascing 18,28 g tan-1 atau 13,96 t ha-1.
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian pada tanaman pangan, kascing dapat meningkatkan serapan hara N, P, dan K dan hasil kedelai hingga 100 % disamping meningkatkan kandungan hara tanah dan pH. Beberapa penelitian juga telah melaporkan bahwa kotoran cacing secara sangat nyata mempengaruhi struktur dan kesuburan tanah. Kotoran cacing biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dan lebih banyak mengandung N total, NO3-N, bahan organik, Mg total, Mg dapat ditukar, P tersedia, basa, dan kadar air (Lunt dan Jacobson, 1944 dalam Iswandi Anas, 1990).
Rachman Sutanto (2002) mengemukakan bahwa dengan pupuk organik sifat fisik, kimia dan biologi tanah menjadi lebih baik. Kompos mempunyai sifat drainase dan aerasi yang baik, namun demikian kascing mempunyai kandungan unsur hara yang tersedia untuk tanaman dan kemampuan sebagai penyangga (buffer) pH tanah. 4 Secara biologis keduanya mempunyai mikroba yang penting bagi medium tumbuh bibit kakao. Mikroba yang terdapat pada kascing dapat menghasilkan enzim-enzim (amilase, lipase, selulase dan chitinase). Kelebihan kascing tersebut dan didukung pula dengan adanya kandungan hormon tumbuh akan memberikan pengaruh yang lebih baik pada pertumbuhan bibit kakao.

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai bahan informasi yang berguna dalam usaha pengembangan pemanfaatan limbah buah kakao sebagai pupuk organik.
METODE PENELITIAN
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yng digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial, 2 faktor dengan 2 kali ulangan.
Faktor pertama Kompos Kulit Buah Kakao (C) dengan 4 taraf :
co = tanpa kompos
c1 = kompos 1,25 kg per polibeg (3 bagian tanah : 1 bagian kompos)
c2 = kompos 1,67 kg per polibeg (2 bagian tanah : 1 bagian kompos)
c3 = kompos 2,51 kg per polibeg (1 bagian tanah : 1 bagian kompos)
Faktor kedua Kascing (K) dengan 4 taraf :
ko = tanpa kascing
k1 = kascing 10 g per polibeg
k2 = kascing 20 g per polibeg
k3 = kascing 30 g per polibeg
Terdapat 4 x 4 = 16 kombinasi perlakuan, seluruh satuan percobaan yang diulang 2 kali menghasilkan 16 x 2 = 32 satuan percobaan.

Rancangan Respons
Untuk mengetahui respon perlakuan antara kompos kulit buah kakao dengan dosis kascing dilakukan pengamatan utama dan pengamatan penunjang. Pengamatan utama terdiri dari pH, C-organik, KTK tanah, sedangkan pengamatan penunjang meliputi parameter pertumbuhan bibit kakao (tinggi tanaman, jumlah daun, dan bobot kering total) dengan waktu pengamatan pada umur 4, 7, 10, 13, dan 16 minggu setelah tanam (MST) pada setiap polibeg.

Rancangan Analisis
Analisis ragam dengan univariat (Anova) dilakukan terhadap data pengamatan dari variabel kimia tanah meliputi: pH, C-organik, dan KTK tanah. 12 Jika dari analisis ragam terdapat keragaman yang berbeda nyata, dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1987). Model statistik untuk percobaan faktorial yang terdiri dari dua faktor (C dan K) dengan menggunakan rancangan dasar RAK adalah sebagai berikut (Gaspersz,1995):
Yijk = μ+Ai +Cj + Kk+(CK)jk + ε jk
dimana:
Yijk = nilai pengamatan (respon) dari kelompok ke-i, yang memperoleh taraf
ke-j dari faktor dosis kompos dan taraf ke-k dari faktor dosis kascing
μ = nilai rata-rata yang sebenarnya
Ai = pengaruh aditif dari kelompok ke-i (i=1,2,3)
Cj = pengaruh aditif dari taraf ke-j faktor dosis kompos (j=1,2,3,4)
Kk = pengaruh aditif dari taraf ke-k faktor dosis kascing (k=1,2,3,4)
(CK)jk = pengaruh interaksi taraf ke-j faktor dosis kompos dan taraf ke-k
faktor dosis kascing
ε jk = pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-k yang memperoleh
taraf ke-j faktor dosis kompos dan taraf ke-k faktor dosis kascing.

Pelaksanaan Percobaan
Persiapan Media Tanam
Tanah yang digunakan untuk media tanam adalah Inceptisols yang diambil secara komposit dari lapisan atas dengan kedalaman 0-20 cm, lalu dikering udarakan selama 2-4 hari. Kemudian tanah ditumbuk dan disaring dengan saringan berukuran 2 mm lalu tanah ditimbang sebanyak 5 kg dan dimasukan ke dalam polibeg. Kemudian dicampurkan perlakuan kompos kakao, dan kotoran cacing sesuai dosis pada setiap perlakuan dan dicampur secara merata. enyiraman dilakukan dengan memberikan sejumlah air yang sesuai dengan kebutuhan air sampai kapasitas lapang.
Persiapan Benih dan Perkecambahan
Benih kakao jenis Upper Amazone Hybrid (UAH) diambil dari buah yang masak, yang diambil dari batang utama tanaman kakao. Biji dari buah kakao untuk benih diambil bagian tengahnya saja (berukuran 18-19 cm), sedangkan bagian kedua sampingnya dibuang dan diambil hanya biji-biji yang
besarnya seragam.
Bahan tanaman biji kakao dibersihkan dahulu dari lendir yang menempel dengan sekam padi tujuannya supaya biji cepat berkecambah dan supaya terhindar dari serangan penyakit, biji direndam dahulu dengan fungisida Dhitane M-45 dengan konsentrasi 2 g L-1 air selama 5 menit. Benih kakao jenis UAH yang sudah siap, dikecambahkan pada medium karung goni. Karung goni dicelupkan ke dalam larutan fungisida Dithane M-45 0,2%. Benih dihamparkan di atas karung (beralas batu bata agar tidak kontak langsung dengan tanah), jarak antar benih 2 x 3 cm sehingga untuk satu karung goni ukuran 100 x 72 cm dapat digunakan untuk 300 benih. Benih ditutup karung goni tipis yang telah dicelupkan dalam fungisida kemudian disiram air setiap hari. Untuk melindungi benih dari tetesan air hujan, bedengan diberi naungan.
Persemaian
Benih yang telah berkecambah (berumur 5 hari) diletakkan pada media tanam (pasir) dengan ketebalan 10 cm. Cara penanaman kecambah adalah bagian ujung benih yang membesar (mata benih) di sebelah bawah dan kemudian membenamkannya sampai kira-kira 0,5 cm saja yang muncul di atas permukaan pasir. Jarak tanam yang digunakan adalah 5 x 3 cm. Persemaian diberi naungan untuk menghindari dari hujan dan angin.

Penanaman
Bibit dari persemaian dipindahkan ke dalam polibeg pada umur 10 hari. Bibit dipilih yang seragam, bervigor, sehat, akarnya lurus dan tidak mengalami kerusakan. Setiap polibeg yang sudah berisi medium tumbuh ditanami satu kecambah kakao. Polibeg-polibeg disusun di bawah naungan berupa paranet dengan intensitas cahaya yang masuk 65 %. Lahan pembibitan dilindungi dengan plastik tranparan untuk menghindari serangan hama belalang. Kantung-kantung ditempatkan dengan jarak antar polibeg 15 x 30 cm.
Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiraman, penyiangan gulma, serta pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dengan melakukan penimbangan terlebih dahulu untuk menentukan jumlah air yang harus itambahkan. Hal tersebut dimaksud untuk mempertahankan kondisi kapasitas lapang. Kegiatan penyiraman dilakukan setiap pagi hari dengan cara menyiramkan air ke dalam polibeg yang sebelumnya telah diberi lubang secara merata pada setiap kedalaman media.
Pemupukan dilakukan setiap dua minggu menggunakan urea 2 g, pada satu bibit. Penyiangan gulma dilakukan secara manual yaitu mencabut setiap gulma dari polibeg kemudian dibenamkan kembali kedalam tanah pada polibeg tersebut. Pemberian pestisida dilakukan bila terjadi serangan hama dan penyakit. Pestisida yang dianjurkan adalah dengan bahan aktif Deltrametrin (Decis 2,5 EC), Sihalotrin (Matador 25 EC), dan Dithane M-45.
HASIL PEMBAHASAN

Kemasaman Tanah (pH tanah)
Secara mandiri perlakuan dosis kompos berpengaruh nyata terhadap pH tanah (Tabel 1). Setiap kenaikan dosis kompos, berpengaruh nyata terhadap peningkatan pH tanah mendekati pH 7 (netral), sehingga kisaran pH tersebut dianggap baik dan optimal untuk pertumbuhan bibit kakao. Hal ini didukung oleh pendapat Akenhorah 1979 dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kako Indonesia (2004), bahwa bibit kakao akan tumbuh optimal pada pH mendekati netral atau berkisar 5,6 – 6,8. Namun demikian, baik KBKBK dan kascing merupakan muatan tidak tetap (variabel), artinya setiap kenaikan atau penurunan pH tanah tidak selalu memiliki korelasi terhadap perbaikan kesuburan tanah. Hal ini tergantung dari kekuatan ion pengikat yang berada pada liat koloid.
Tabel 1 Pengaruh KBKBK dan Kascing terhadap pH Tanah
Perlakuan Rata-rata pH tanah
KBKBK
c0 = tanpa KBKBK
c1 = 0,84 kg per polibeg
c2 = 1,67 kg per polibeg
c3 = 2,51 kg per polibeg
Kascing
k0 = tanpa kascing
k1 = 10 g per polibeg
k2 = 20 g per polibeg
k3 = 30 g per polibeg
4,6163 a
5,6312 b
6,4175 c
6,9613 d

5,7688 a
6,1088 a
5,8675 a
5,8812 a
Keterangan : Angka rata-rata arah vertikal yang ditandai dengan huruf yang sama
tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan, α = 0,05
Pengaruh perlakuan kascing terhadap pH tanah menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata pada semua level dosis. Hal ini dapat disebabkan oleh tanaman kakao termasuk tanaman tahunan berbatang kayu sehingga untuk dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman diperlukan dosis kascing yang lebih banyak.
C-organik
Hasil analisis statistik pengaruh KBKBK dengan kasing terhadap Corganik menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi yang nyata Hal ini diduga Faktor perlakuan dosis KBKBK memberikan pengaruh nyata terhadap C-organik. Efek mandiri (Tabel 2) pada dosis KBKBK memperlihatkan bahwa setiap peningkatan dosis KBKBK berpengaruh nyata terhadap peningkatan Corganik. Dosis 2,51 kg per polibeg memiliki persen C-organik tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali dosis 1,67 kg per polibeg. Dosis KBKBK yang tinggi telah menyumbangkan C-organik yang tinggi pula terhadap tanah. Sanchez (1993) berpendapat bahwa pupuk organik seperti halnya kompos dapat meningkatkan kadar C-organik tanah. Peningkatan kadar C-organik dapat pula disebabkan oleh jumlah mikroorganisme yang mendekomposisi bahan organik KBKBK tersebut relatif sedikit. Produk dekomposisi bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme tanah untuk pembentukan sel tubuhnya. Hal ini mengandung arti bahwa bahan organik tanah meningkatkan populasi mikroorganisme tanah. Menurut Buckman and Brady (1982) populasi mikroorganisme tanah meningkat dengan adanya penambahan bahan organik ke dalam tanah ditinjau dari peredaran CO2.
Tabel 2 Pengaruh KBKBK dan Kascing terhadap C-organik
Perlakuan C-organik
KBKBK
c0 = tanpa KBKBK
c1 = 0,84 kg per polibeg
c2 = 1,67 kg per polibeg
c3 = 2,51 kg per polibeg
Kascing
k0 = tanpa kascing
k1 = 10 g per polibeg
k2 = 20 g per polibeg
k3 = 30 g per polibeg
1,871 a
3,849 b
4,205 bc
4,844 c

3,615 a
3,748 a
3,565 a
3,841 a
Keterangan : Angka rata-rata arah vertikal yang ditandai dengan huruf yang sama
tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan, α = 0,05
Pemberian kascing pada berbagai dosis tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap C-organik, hal ini diduga bahwa pada kasing sumber bahan asal C-organik yang diberikan dosisnya terlalu rendah, sehingga tidak cukup mampu ntuk meningkatkan C-organik secara nyata, meskipun secara nilai rata-rata meningkat seiring peningkatan dosis kascing. Namun demikian, kandungan C-organik di atas 3 persen sudah tergolong tinggi dan optimal bagi kebutuhan tanaman kakao. Kadar bahan organik ini sidah akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, absorpsi hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorpsi menandakan bahwa daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk diserap akar tanaman.
Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Tidak terjadi interaksi yang nyata antara KBKBK dan kascing terhadap KTK tanah. Hal ini dikarenakan proses dekomposisi KBKBK dan kascing belum banyak menghasilkan humus yang mempunyai gugus karboksil (-COOH ↔ COO- + H+) dan phenol (-C6H4O- ↔ -C6H3O- + H+). Disosiasi H+ dari gugus karboksil dan phenol sebenarnya akan menambah muatan (-) pada kompleks jerapan (Tisdale at al., 1993), sehingga kapasitas sangga tanah eningkat, namun karena asam-asam organik hasil dekomposisi dari kompos dan kascing sebagian besar digunakan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi sisa bahan organik di dalam tanah, sehingga tidak terjadi interaksi.
Berdasarkan efek mandiri kedua faktor perlakuan tersebut, baik KBKBK maupun kascing tidak menunjukkan angka beda nyata pada seluruh level dosis (Tabel 3). KTK tanah awal yang cukup tinggi diduga telah mempengaruhi pada kesimbangan hara di dalam tanah oleh tanaman bibit kakao untuk tumbuh dengan optimal, sehingga berapapun peningkatan dosis kedua bahan organik tersebut, tidak akan mempengaruhi KTK tanah, artinya secara teoritikal tetap tinggi.
Tabel 3 Pengaruh KBKBK dan Kascing terhadap KTK tanah
Perlakuan C-organik
KBKBK
c0 = tanpa KBKBK
c1 = 0,84 kg per polibeg
c2 = 1,67 kg per polibeg
c3 = 2,51 kg per polibeg
Kascing
k0 = tanpa kascing
k1 = 10 g per polibeg
k2 = 20 g per polibeg
k3 = 30 g per polibeg
96,3425 a
95,8012 a
98,2538 a
97,7238 a

92,2487 a
101,8188 a
95,7758 a
98,8787 a
Keterangan : Angka rata-rata arah vertikal yang ditandai dengan huruf yang sama
tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan, α = 0,05
Pemberian KBKBK dan kascing ternyata tidak berbeda nyata dengan tanpa perlakuan, hal ini menunjukkan bahwa penambahan bahan organik belum mampu meningkatkan KTK pada dosis KBKBK dan kascing yang tinggi karena memerlukan waktu yang lebih lama untuk dilihat pengaruhnya terhadap KTK.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan telaah hasil penelitian mengenai pengaruh kompos bioaktif kulit buah kakao dan kascing terhadap pertumbuhan bibit kakao, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pemberian kompos bioaktif kulit buah kakao dengan kascing tidak memberikan pengaruh interaksi nyata terhadap pH tanah, C-organik, dan KTK tanah. Secara mandiri, kompos bioaktif kulit buah kakao memberikan pengaruh nyata terhadap perbaikan Ph tanah dan C-organik, sedangkan pemberian kascing tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ketiga variabel sifat kimia Fluventic Eutrudepts.
2. Pemberian kompos bioaktif kulit buah kakao 2,51 kg per polibeg memberikan pH tanah dan C-organik tertinggi masing-masing sebesar 6,9613 dan 4,844%, atau meningkat 50,80% dan 159% jika dibandingkan dengan kontrol.
Saran
Hasil penelitian menunjukkan pengaruh KBKBK terhadap pH dan C-organik meningkat kearah yang lebih baik, sedangkan kascing pengaruhnya belum cukup nyata terhadap perbaikan sifat kimia Fluventic Eutrudepts, hal ini diakibatkan rendahnya dosis yang diberikan dan tingginya curah hujan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan dosis kascing yang ditingkatkan, yaitu diatas 30 g per polibeg.
DAFTAR PUSTAKA
Atep Afia Hidayat. 2002. pengaruh Pupuk Organik Kascing dan Inokulan CMA
terhadap Pertumbuhan dan Hasil Buncis Tipe Tegak (Phaseolus vulgaris). Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Balai Penelitian Perkebunan Jember. 1988. Panduan Pembibitan Kakao. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Buckman, H.O., and Brady, N.C. 1982. Ilmu Tanah. Penerbit Bhatara Karya
Aksara. Jakarta
Departemen Pertanian. 2004. dalam http :www.deptan.co.id. Diakses tanggal
3 Juli2004.
Didiek H.G dan Yufnal Away. 2004. Orgadek, Aktivator Pengomposan.
Pengembangan Hasil Penelitian Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Bogor.
Farida Ariyani. 1996. Pertumbuhan dan Hasil Tomat (Lycopersicon esculentum) dengan Perlakuan MVA dan Pupuk Organik Kascing pada Ultisol.
Tesis Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
Goenadi. 1997. Kompos Bioaktif dari Tandan Kosong Kelapa Sawit. Kumpulan
Makalah Pertemuan Teknis Biotek. Perkebunan Untuk Praktek. Bogor.
Iswandi Anas. 1990. Metode Penelitian Cacing Tanah dan Nematoda. PAU-IPB.
Bogor.
biological sludges and impacts on soil quality. Soil Biol. Biochem 32.
Mohamad Fadli. 2001. Pertumbuhan dan Hasil Kacang Tanah pada Inceptisol yang Dipupuk Kascing dan Kapur. Tesis Program Pasca Sarjana Universitaspadjadjaran.
Ni .Luh Kartini. 1996. Efek Inokulasi mikoriza vesicular-arbuskular (MVA) dan
Apklikasi Pupuk Organik Kascing terhadap P-tersedia tanah, Konsentrasi P Tanaman dan Hasil bawang Putih (Allium sativum L.) pada Inceptisol.
Disertasi Doktor Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Rachman Sutanto. 2002. Penerapan Pertanian Organik (Pemasyarakatan dan
Pengembangannya). Kanisius Yogyakarta.
Soedarsono, Soetanto Abdoellah, Endang Aulistyowati. 1997. Penebaran Kulit Buah Kakao Sebagai Sumber Bahan Organik Tanah dan Pengaruhnya terhadap Produksi Kakao. Pelita Perkebunan 13(2):90-99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar